BANDAR LAMPUNG Grahapost – Berdasarkan catatan Walhi Lampung di Bandar Lampung, memiliki 33 bukit dan tercatat selama tahun 2020 lalu ini telah terjadi 13 kasus terkait persoalan bukit. Dimana kondisi bukit di Kota Bandar Lampung beberapa sudah rusak bahkan rusak parah, hal ini disebabkan oleh alih fungsi menjadi pertambangan, pemukiman dan tempat wisata.
Walhi Lampung mencatat ada 20 bukit yang kondisinya rusak sedang dan parah, artinya bisa dikatakan 70% bukit di Kota Bandar Lampung ini sudah rusak sedang hingga parah.
Menanggapi hal tersebut, Wahrul Fauzi Silalahi selaku Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung pun mengemukakan pendapatnya, Menurutnya banyaknya penambangan liar atau illegal di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa lemahnya pemerintah, dalam hal ini pihak eksekutif/dinas terkait atau DLH dalam upaya pengawasan serta penegakan hukum (Aparat penegak hukum PPNS atau polri).
Padahal jelas dalam UU PPLH nomor 32 tahun 2009 mau pun UU pertambangan nomor 3 tahun 2020, perubahan dari UU nomor 4 tahun 2009 dimana dalam aturan tersebut, mengatur tentang kewajiban yang harus di patuhi termasuk syarat-syarat yang harus di penuhi. Jelasnya.
“Ketika proses dan tahapan itu tidak dilakukan oleh pelaku tambang, maka aparat terkait atau aparat penegak hukum dapat pertindak tegas, memberikan sangsi pidana sebagaimana yang diatur dalam UU Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nomor 32 tahun 2009″. Kata Wahrul Fauzi saat diwawancarai wartawan. Rabu (17/3/2021).
Terkait banyaknya bukit-bukit di Bandar Lampung yang beralih fungsi seharusnya pemerintah Kota (pemkot) sebagai pemangku wilayah, bisa berkoordinasi kepada pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov).sebagai pemberi izin pertambangan untuk melakukan penertiban kegiatan tambang yang mengakibatkan hancur dan beralih fungsinya wilayah bukit-bukit yang ada di Bandar Lampung, termasuk memberikan sangsi tegas bagi kegiatan yang tidak sesuai dengan kaidah kaidah lingkungan hidup. Terangnya.
“Ke depan tentunya Pemkot harus membuat aturan berupa perda terkait pengelolaan bukit-bukit (di tetapkan sebagai RTH atau kawasan lindung) yang ada di Bandar Lampung agar tidak tergerus dan beralih fungsi hingga dapat menimbulkan banjir dan longsor, atau yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan hidup”. Tutup Wahrul Fauzi. (*).