JAKARTA Grahapost.com – Kata “manifesto” paling tepat diterjemahkan sebagai “pernyataan”. Karena kata itu berasal dari istilah tentang sesuatu yang dijadikan “manifest”, atau “nyata”. dalam perkembangannya, kata manifesto banyak dipakai untuk semacam pernyataan (ketegasan) sikap. Yakni mengungkapkan apa yang perlu diungkapkan secara terus-terang dan straightforward. Sikap terus-terang dan noneufemistik ini diambil karena adanya suatu situasi—dengan kata lain, problem—yang dianggap sudah mencapai titik kritis sehingga harus segera dihadapi dan diatasi dengan penuh keseriusan.
Adalah Cendekiawan Muslim Haidar Bagir, yang merupakan Pendiri Gerakan Islam Cinta menyampaikan pernyataan sikapnya pada Selasa, 22/3/2022 dalam acara Konferensi Pers, Diskusi dan Peluncuran Buku. Perihal fenomena keberagamaan dewasa ini melalui buku terbarunya berjudul “Manifesto Islam Cinta”.
Pernyataan sikap yang disampaikan oleh Haidar Bagir tersebut disebabkan beberapa hal antara lain; pertama, Haidar Bagir melihat saat ini ada krisis yang berbahaya dalam pemahaman keberagamaan kita. Soal ini, Haidar Bagir uraikan dalam Pengantar dan Bab Pertama buku Manifesto Islam Cinta, sebagaimana terlampir—yakni, “Spiritualitas dan Orientasi Cinta: Satu-satunya Masa Depan Agama”.
Dalam tulisan tersebut, ia tunjukkan bahwa agama akan makin kehilangan relevansinya—bahkan bisa berperan negatif dalam kehidupan manusia— jika tidak segera dikembalikan kepada fungsinya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Rahmat yang lahir dari daya agama dalam memberikan tuntunan spiritual, yang kebutuhannya makin dirasakan oleh manusia modern.
Manusia modern belakangan ini makin terjebak ke dalam materialisme, sementara promosi cinta dan welas asih makin ke sini makin tergerus oleh peradaban yang kian rakus, egoistik, dan dipenuhi nafsu menggagahi satu sama lain. Yakni, ketika agama tiba-tiba menjadi sarana untuk menyalurkan formalisme-legalisme yang mencekik dan kebencian antarkelompok. Jelas Haidar.
Lebih lanjut Haidar katakan bahwa prinsip dan asas Islam yang paling utama sesungguhnya adalah cinta dan welas asih. Tetapi, sayangnya, prinsip ini telah tersuruk ke bawah reruntuhan banalitas sejarah dan karut-marut sosial-politik profan sepanjang kariernya. Sehingga sebuah upaya mengangkatnya kembali ke permukaan—memanifestasikan—menjadi amat mendesak. Kalau tidak, selain bisa berdampak negatif, wajah agama juga akan menjadi amat tidak menarik.
Khususnya bagi kelompok terpelajar yang tidak terdidik dalam lingkungan Islam tradisional. Ya, mereka bisa kehilangan minat terhadap agama (Islam)—dan lari kepada ateisme dan agnostisisme, yang tanda- tandanya menjadi makin nyata belakangan ini—bahkan bukan tak mungkin terbentuk sikap anti-agama. Maka, ini jugalah sebenarnya gagasan di balik pendirian Gerakan Islam Cinta dan penulisan/penerbitan berbagai bukunya yang terkait dengan prinsip-cinta Islam ini. Termasuk bukunya yang berjudul; Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Semesta Cinta, Belajar Hidup dari Rumi dan Mereguk Cinta Rumi, Alkimia Cinta, Catatan untuk Diriku (Ihwal Hidup, Cinta, dan Bahagia), serta beberapa buku terkait sufisme, yang memang merupakan pemahaman Islam yang secara khusus mempromosikan orientasi spiritualitas dan cinta ini. Dan melalui buku Manifesto Islam Cinta, sesuai judulnya, merupakan Manifesto Islam Cinta yang ia coba buat.
Haidar Bagir juga mengungkapkan betapa pun terdengar paradoksnya: Gerakan – Islam Cinta, Manifesto – Islam Cinta, dan Jihad – Cinta. Haidar Bagir percaya bahwa perjuangan dan ketegasan tak harus disampaikan dengan kekerasan, apalagi kekasaran. Bahkan ada waktunya memperjuangkan sesuatu yang selembut cinta lewat suatu gerakan, suatu manifesto, suatu jihad. Karena, apa lagi jihad itu kalau bukan perjuangan sungguh-sungguh untuk mengupayakan kebaikan? Karena itu, pembaca juga tak perlu heran bahwa sebuah buku tentang Islam cinta dibungkus oleh sampul yang ilustrasinya adalah tangan macho yang mengepal. Inilah simbol perjuangan, simbol jihad. Tetapi, bukannya mengepal senjata, tangan macho itu justru mengepal bunga mawar, simbol cinta dan keindahan. Sebab, inilah sesungguhnya esensi Islam Cinta. Yang orientasinya adalah kebaikan hati, kepuasan ruhani, dan kedamaian hidup. Jelasnya.
Dalam acara tersebut juga dibacakan Butir-Butir Manifesto Islam Cinta dengan tegas dan penuh haru oleh Ketua Gerakan Islam Cinta Eddy Aqdhiwijaya, juga turut menghadirkan Fahruddin Faiz, Dosen Filsafat Islam UIN Yogyakarta & Pengasuh Ngaji Filsafat, penampilan spesial Musisi Dira Sugandi dan acara tersebut dipandu oleh Ligwina Hananto. (Eva).